Keajaiban Megalitikum di Sulawesi Tengah: Warisan Peradaban Pra-Aksara
Indonesia kaya dengan segenap peninggalan budaya olah karya penduduknya termasuk pada zaman batu besar atau megalitikum dan kerap disebut pula sebagai era pra-aksara. Era ini ditandai oleh kebiasaan masyarakatnya yang menghasilkan budaya berupa batu berukuran besar sebagai bentuk kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Beberapa hasil budaya megalitikum di antaranya menhir atau batu tegak sebagai wadah pemujaan atau penanda kuburan.
Selanjutnya ada dolmen yaitu meja batu besar yang ditopang oleh batu-batu lebih kecil sebagai kaki. Ada pula sarkofagus yaitu wadah dengan penutup yang berfungsi sebagai wadah penyimpan jasad dan masih ada lagi waruga dengan fungsi serupa sarkofagus. Karya batu besar era megalitikum lainnya adalah arca batu, punden berundak, dan kubur batu. Sisa-sisa peninggalan budaya batu besar terserak pada sejumlah kawasan di Nusantara.
Salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Provinsi seluas 61.841 kilometer persegi itu menyimpan kisah peradaban batu-batu zaman megalitikum sekaligus mengungkap misteri yang terjadi pada masa sebelum penanggalan masehi diberlakukan. Tersebutlah nama Albertus Christian Kruyt dan Nicolas Adriani, dua peneliti berkebangsaan Belanda dan Amerika Serikat (AS), yang mengungkap awal mula peninggalan megalitik di Sulteng pada tahun 1898 melalui karya ilmiahnya Van Poso naar Parigi en Lindoe.
Tujuh tahun berselang, giliran penjelajah alam bersaudara asal Swiss, Paul Benedict Sarasin dan Karl Friedrich Sarasin menggelar perjalanan ke Sulteng era 1893–1903 dan menuangkan pengalamannya dalam buku Reisen in Celebes. Sejak itu, semakin tak terbendung jumlah penjelajah yang tertantang untuk menggelar riset dan penelitian demi menguak peninggalan batu besar dari era di 3.000 tahun lampau di Sulteng. Misalnya Harry Cushier Raven dari Amerika Serikat dan peneliti Swedia, Walter Kaudern.
Raven melalui bukunya The Stone Images and Vats of Central Sulawesi yang terbit pada 1926 mengatakan bahwa dirinya pergi ke Sulteng pada 1917 dan tinggal di sana selama setahun guna meneliti batu-batu besar megalit, utamanya di Lembah Bada dan berlanjut sampai ke kantong-kantong batu besar di Sulteng seperti Behoa, Napu, dan Tomabulopi. Dia mampu menggambarkan kondisi megalitik melalui diagram dan foto-foto yang bagus dan membandingkan hasil jepretan yang didapatnya sebagai bagian dari bukunya.
Puncaknya adalah ketika arkeolog terkemuka Indonesia, Dwi Yani Yuniawati Umar atau akrab dipanggil Atik oleh sejawatnya, pada 2013 berhasil mengidentifikasi 1.466 megalit dari 83 situs, sebagian besar ditemui pada kawasan biosfer Lore Lindu. Dia juga menemukan kronologi yang cukup tua dari tulang-tulang yang terkubur di Situs Wineki. Dari hasil penelitian berdasarkan penanggalan karbon, usia temuan itu sekitar tahun 2531-1416 Sebelum Masehi.
Salah satu ikon megalit terkenal adalah Palindo atau Watu Palindo di Lembah Bada. Patung setinggi 4,5 meter ini disebut sebagai representasi dari penduduk mitologis pertama dari desa Sepe yang bernama Tosaloge. Gambar ikon megalitikum Indonesia tersebut bersama Batu Gajah dari Sumatra Selatan dan sarkofagus dari Bali pernah dicetak dalam seri prangko sewaktu Pameran Filateli Internasional di London, Inggris pada 1980.
Antropolog budaya asal Amerika Serikat, Martin Gray melalui tulisannya soal megalit Pulau Sulawesi di jurnal daring Sacred Sites mengakui keunikan peninggalan batu besar di Sulteng sebagai salah satu misteri arkeologi terhebat di dunia. Hal itu dikarenakan masih sulitnya mengurai muasal batu-batu misterius itu. Apabila menilik peradaban manusia di Asia Tenggara, Pulau Sulawesi baru didiami pertama kali kemungkinan sekitar 50.000 hingga 30.000 tahun lampau.
Gray yang juga gemar fotografi mengatakan, terdapat ratusan artefak batu besar di Lembah Napu, Besoa, dan Bada dalam Taman Nasional Lore Lindu, Sulteng. Bentuknya beraneka rupa, mulai dari silinder patung atau batu rata dengan tanda cawan. Ukurannya mulai dari 2 kaki hingga 15 kaki dan tiap patung dibuat tanpa kaki dengan umumnya bentuk kepala besar dan aneh atau hiasan geometrik yang abstrak.
Ia menyebut batu-batu misterius itu memiliki kemiripan dengan yang dia temukan pada pusat batu besar purba di Taman Arkeologi San Augustin, Kolombia. “Kemiripan paling dekat mengenai teka-teki megalitik yang bisa saya ungkap adalah ukirannya sama seperti di San Augustin, Kolombia,” kata Gray.
Tidak ada penyelidikan mitologi, antropologi, arkeologi, etnologi yang memberi gambaran mengenai usia, asal usul atau tujuan dari batu-batu besar itu dibentuk menjadi wadah. Dia mengelompokkan peninggalan purbakala di Sulteng sebagai yang tertua di dunia bersama di Pulau Paskah di Chile.
Batu-batu besar itu menyebar di Desa Watunonju, Bangga, Tulo, dan Pevunu seluruhnya di Kabupaten Sigi. Bentuknya beraneka rupa seperti lumpang dari batu putih yang mengandung partikel kristal putih dan tembikar berhias. Kemudian menhir, kubur batu, dan lumpang berjumlah 312 benda di Lembah Napu dan 824 megalit di Lembah Behoa dan 330 lainnya di Lembah Bada. Sedangkan di Situs Pokekea ada 103 benda megalit berupa gerabah batu, kalamba dan tutupnya, arca batu, altar, dulang, dan makam batu.
Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng pada 2023 lalu mencanangkan provinsi tersebut sebagai Negeri Seribu Megalit. Pencanangannya dilakukan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Palu pada 3 Oktober 2023 lalu. “Gandeng semua pemangku kepentingan untuk menyiapkan Negeri Seribu Megalit sebagai destinasi wisata unggulan Sulawesi Tengah sehingga dapat berkontribusi dalam menggerakkan ekonomi daerah,” kata Wapres seperti dikutip dari website.
Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu juga meminta Pemprov Sulteng melakukan promosi termasuk memanfaatkan media sosial sebagai alat paling tepat mengenalkan Negeri Seribu Megalit kepada dunia. Wapres Ma’ruf Amin menyebut, media sosial sebagai alat promosi efektif didukung narasi kuat mengedepankan wisata budaya sejarah megalitikum sebagai bagian peradaban dunia.
Dalam kesempatan tersebut Gubernur Sulteng Rusdy Mastura menyebutkan, julukan provinsinya sebagai Negeri Seribu Megalit diberikan guna mempromosikan kemegahan kawasan cagar budaya megalitikum di Lembah Napu, Lembah Behoa, dan Lembah Bada yang tersebar di Kabupaten Poso dan Lembah Lindu di Kabupaten Sigi. Ia berharap, pencanangan sebagai Negeri Seribu Megalit akan mempercepat penetapan kawasan megalitikum di Sulteng sebagai Warisan Dunia (World Heritage) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).